4D3N Pacu Jawi

4D3N Pacu Jawi

4d3n Pacu Jawi & Eksplorasi Sumatera Barat
Harga: Rp 2.369.000/pax
Minimal Peserta: 10 orang

Nikmati pengalaman tak terlupakan menjelajahi keindahan budaya dan alam Sumatera Barat, termasuk atraksi unik Pacu Jawi – tradisi balapan sapi khas Tanah Datar yang hanya ada di Minangkabau!

Hari 01, Bandara Internasional Minangkabau – Batusangkar (L, D)

Penjemputan di Bandara Internasional Minangkabau (BIM)

Perjalanan menuju Batusangkar melalui jalur legendaris Air Terjun Lembah Anai

Singgah sejenak di Air Terjun Lembah Anai, dipercaya memberi kesegaran dan efek awet muda

Kunjungan ke Minangkabau Village (Pusat Dokumentasi dan Informasi Budaya Minangkabau)

Makan siang di restoran lokal (opsi: Pondok Baselo Baramas / Sate Mak Syukur)

Menjelajahi Desa Pariangan – dinobatkan sebagai salah satu desa terindah di dunia

Mengunjungi Istana Pagaruyung, replika istana kerajaan Minangkabau masa lampau

City tour Batusangkar: Batu Batikam, Batu Basurek, dan Batu Angkek-Angkek
Makan malam dengan suasana sawah di Sawah Laman Resto

Check-in hotel dan istirahat.

Hari 02: Batusangkar – Pacu Jawi – Lembah Harau – Bukittinggi (B, L, D)

Sarapan pagi dan check out hotel

Menuju lokasi Pacu Jawi untuk menyaksikan balapan sapi tradisional khas Minangkabau

Makan siang (disediakan lunch box)

Perjalanan dilanjutkan ke Lembah Harau dan Kelok 9 – destinasi alam favorit dengan panorama tebing dan lembah memukau

Berbelanja oleh-oleh khas seperti kerupuk Sanjai di Pusat Oleh-oleh Ummi Aufa Hakim

Makan malam di restoran pilihan (Sederhana Restaurant / CK Center Cafe / Lapau Kapau/ RM Pondok Baselo )

Check-in hotel di Bukittinggi

Hari 03: Bukittinggi – Danau Maninjau – Padang (B, L, D)

Sarapan pagi dan check out hotel

City tour Bukittinggi: mengunjungi Panorama Baru, Rumah Kelahiran Bung Hatta, Jam Gadang, dan Pasar Atas

Singgah ke Koto Gadang, sentra kerajinan perak khas Sumatera Barat

Makan siang di Eni Resto

Kunjungan ke Kenagarian Lawang untuk melihat proses tradisional pembuatan gula tebu

Menikmati panorama Danau Maninjau dari Lawang Park

Melanjutkan perjalanan ke Padang

Makan malam di restoran lokal (Lamun Ombak / Ikan Bakar Khatib / Sederhana)

Check-in hotel dan istirahat

Hari 04: Padang – City Tour – Bandara (B, L)

Sarapan pagi dan check out hotel

City tour Padang: mengunjungi Masjid Raya Sumatera Barat, Kota Tua Padang, Kampung Cina, Jembatan Siti Nurbaya, dan Pantai Padang

Makan siang di restoran lokal

Pengantaran ke Bandara Internasional Minangkabau

Tour berakhir – sampai jumpa di perjalanan berikutnya!

Harga Sudah Termasuk :

Harga Tidak Termasuk :

  • Transportasi AC selama tour
  • Hotel/ Akomodasi
  • Makan sesuai jadwal perjalanan (B: Sarapan, L: Makan Siang, D: Makan Malam)
  • Tiket masuk ke objek wisata
  • Driver dan tour guide profesional
  • Air mineral harian dan parkir
  • Tips untuk sopir/pemandu wisata
  • Biaya tambahan (di luar program)
  • Minuman tambahan (juice, soft drink, dll.)
  • Tiket pesawat, airport tax, porter bandara
  • Biaya tambahan selama periode libur Lebaran, Natal, dan Tahun Baru

Catatan:
Paket ini cocok untuk wisata budaya, wisata keluarga, hingga komunitas yang ingin merasakan langsung keunikan budaya Minangkabau melalui Pacu Jawi dan keindahan alam Sumatera Barat.

Salawat Dulang

Salawat Dulang

Salawat Dulang adalah tradisi lisan khas Minangkabau yang menggabungkan seni sastra Islam dengan iringan musik tradisional. Dalam pertunjukan ini, dua orang penyanyi duduk berdampingan sambil menabuh dulang sejenis nampan besar dari logam dengan tangan kanan mereka, sambil menyanyikan syair-syair berisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW atau cerita-cerita moral. Tradisi ini diyakini berasal dari Tanah Datar, Sumatera Barat, dan mulai berkembang sebagai sarana dakwah yang dipopulerkan oleh kelompok tarekat Syattariyah. Syekh Burhanuddin, salah satu tokoh tarekat tersebut, mengadaptasi seni rebana dari Aceh dan menggunakannya bersama dulang sebagai alat musik pengiring dalam tradisi ini.

Salawat Dulang tidak hanya berfungsi sebagai media dakwah, tetapi juga sebagai hiburan dan sarana penggalangan dana dalam berbagai acara keagamaan. Dalam setiap pertunjukan, dua penyanyi saling berbalas syair dalam bentuk tanya jawab, kadang diselingi dengan humor dan sindiran halus, menjadikannya sebuah hiburan yang menggetarkan. Syair yang dibawakan dapat berlangsung antara 25 hingga 40 menit, dengan improvisasi sesuai dengan tema atau irama yang sedang populer di masyarakat. Pertunjukan ini biasanya diselenggarakan pada hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha, atau dalam acara keagamaan seperti khatam Al-Qur’an dan peresmian rumah baru.

Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, Shalawat Dulang sering dipertunjukkan di surau, masjid, atau rumah penduduk yang dihormati. Selain sebagai hiburan, tradisi ini juga berfungsi sebagai sarana pendidikan moral dan spiritual. Meskipun demikian, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat tradisi ini semakin terpinggirkan, sehingga diperlukan upaya pelestarian. Pemerintah daerah dan komunitas budaya setempat telah berusaha mengenalkan kembali tradisi ini kepada generasi muda melalui berbagai festival budaya dan pelatihan seni. Harapannya, Shalawat Dulang dapat terus hidup dan berkembang sebagai bagian penting dari warisan budaya Minangkabau yang kaya dan berharga.

Songket Pandai Sikek

Songket Pandai Sikek

Songket Pandai Sikek adalah salah satu warisan budaya Minangkabau yang dikenal luas karena kualitasnya yang tinggi, motifnya yang khas, serta proses pembuatannya yang masih mempertahankan cara tradisional secara turun-temurun. Dalam masyarakat Minangkabau, songket tidak hanya digunakan sebagai busana adat dalam upacara pernikahan, alek nagari, atau acara adat lainnya, tetapi juga menjadi simbol status sosial dan kebanggaan budaya. Keunikan dari Songket Pandai Sikek terletak pada motifnya yang rumit dan sarat makna filosofis, seperti motif pucuak rabuang, bungo cangkih, hingga kaluak paku yang menggambarkan nilai-nilai kehidupan, kekeluargaan, dan ajaran adat Minangkabau.

Proses pembuatan songket di Pandai Sikek membutuhkan ketelatenan tinggi dan waktu yang tidak sebentar. Bahan dasar kain terbuat dari benang kapas atau sutra yang ditenun dengan benang emas atau perak secara manual menggunakan alat tenun tradisional. Penenun, yang sebagian besar adalah perempuan, mempelajari keahlian ini sejak usia muda dan mewariskannya secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tak heran jika songket yang dihasilkan memiliki nilai artistik tinggi serta kualitas yang tahan lama. Songket Pandai Sikek juga telah menjadi salah satu produk unggulan dari Sumatera Barat yang kerap tampil dalam peragaan busana nasional maupun internasional.

Selain bernilai seni, Songket Pandai Sikek juga memiliki nilai ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat. Industri rumahan tenun songket di nagari ini mampu meningkatkan kesejahteraan warga dan mendukung pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya. Pemerintah daerah pun turut mendorong pelestarian dan promosi songket melalui pelatihan, festival budaya, hingga sertifikasi produk. Para wisatawan yang berkunjung ke Pandai Sikek dapat melihat langsung proses menenun, membeli kain songket sebagai oleh-oleh, bahkan mencoba belajar menenun bersama penduduk setempat.

Sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia, Songket Pandai Sikek bukan hanya hasil kerajinan tangan, tetapi juga perwujudan dari kearifan lokal dan jati diri masyarakat Minangkabau. Di tengah modernisasi dan tantangan zaman, keberadaan songket ini tetap bertahan dan terus berkembang sebagai bentuk kecintaan terhadap tradisi dan identitas budaya yang patut dibanggakan.

Songket Pandai Sikek berasal dari Nagari Pandai Sikek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar

Tari Lukah Gilo

Tari Lukah Gilo

​Tari Lukah Gilo merupakan salah satu tarian tradisional khas Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat. Tarian ini dikenal karena keunikannya yang menggabungkan unsur seni, budaya, dan spiritualitas. Dalam pertunjukannya, penari tampak seperti kehilangan kesadaran dan bergerak dengan gerakan yang tidak biasa, seolah-olah dirasuki oleh kekuatan gaib.​

Nama “Lukah Gilo” berasal dari kata “lukah” yang berarti perangkap ikan tradisional yang terbuat dari bambu, dan “gilo” yang berarti gila atau tidak terkendali. Dalam tarian ini, lukah digunakan sebagai properti utama yang seolah-olah memiliki kekuatan magis, membuat penari bergerak secara liar dan tak terkendali. Penari biasanya memegang atau membawa lukah sambil menari, menciptakan suasana mistis yang memukau penonton.​

Tari Lukah Gilo sering ditampilkan dalam acara-acara adat, festival budaya, dan pertunjukan seni di Sumatera Barat. Tarian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga memiliki nilai-nilai spiritual dan simbolis yang mendalam bagi masyarakat Minangkabau. Melalui gerakan-gerakan yang dinamis dan penuh semangat, Tari Lukah Gilo mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.

Tari Satampang Baniah

Tari Satampang Baniah

Minangkabau bukan hanya dikenal dengan keindahan alam dan kulinernya, tetapi juga memiliki warisan budaya yang sangat kaya, salah satunya adalah Tari Satampang Baniah. Tarian tradisional ini berasal dari Tanah Datar dan menjadi simbol nilai-nilai kebersamaan, kesopanan, dan keindahan dalam adat Minangkabau.

Tari Satampang Baniah biasa ditampilkan dalam berbagai acara adat, penyambutan tamu kehormatan, hingga festival kebudayaan. Dalam setiap geraknya, tarian ini menggambarkan kelembutan dan keselarasan hidup antarindividu dalam masyarakat. Gerakan tari yang lemah gemulai, namun tetap berirama tegas, menyiratkan keanggunan dan keteguhan hati perempuan Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai adat dan sopan santun.

Nama “Satampang Baniah” sendiri memiliki makna filosofi. “Satampang” berarti sebutir, dan “Baniah” berarti benih. Hal ini menggambarkan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, setiap individu, sekecil apa pun perannya, memiliki arti penting bagi harmoni bersama. Tari ini juga menjadi cerminan rasa hormat dan kesatuan dalam struktur adat Minang yang berlandaskan falsafah “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”.

Kostum penari Tari Satampang Baniah juga menjadi daya tarik tersendiri. Biasanya, para penari mengenakan pakaian adat Minangkabau berwarna cerah lengkap dengan suntiang (hiasan kepala), selendang, dan kain sarung tradisional. Semua unsur ini menambah kekuatan visual dalam pertunjukan, sekaligus memperkuat nilai budaya yang ingin disampaikan kepada penonton. Tari Satampang Baniah bukan sekadar pertunjukan seni, melainkan bentuk penyampaian pesan moral dan filosofi hidup masyarakat Minangkabau yang sarat makna. Lewat tarian ini, generasi muda diajak untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan lokal sebagai bagian dari jati diri bangsa.

Tradisi Rakik Rakik Maninjau

Tradisi Rakik Rakik Maninjau

Di pesisir Danau Maninjau, Sumatera Barat, terdapat sebuah tradisi unik yang menjadi bagian penting dari perayaan Idul Fitri, yaitu tradisi rakik rakik. Tradisi ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat setempat dalam menyambut bulan Syawal setelah sebulan penuh menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan. Setiap tahun, masyarakat sekitar Danau Maninjau menyiapkan rakit-rakit kecil yang dihias indah, lengkap dengan lampu-lampu warna-warni yang menyala di malam hari.

Rakit-rakit ini tidak hanya sekadar ornamen, melainkan sebuah simbol kegembiraan dan rasa syukur atas berakhirnya bulan Ramadan. Masyarakat mengapungnya di atas danau sebagai bentuk ungkapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki dan kesehatan yang diberikan. Lampu-lampu yang menghiasi rakit menciptakan suasana magis yang memukau, menggambarkan kedamaian dan kebersamaan dalam merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Selain menjadi simbol kebahagiaan, rakik rakik juga berfungsi sebagai ajang silaturahmi antarwarga. Warga setempat berkumpul di sekitar danau untuk menyaksikan keindahan rakit yang berkelip di permukaan danau. Kehangatan komunitas yang terjalin melalui tradisi ini mempererat hubungan antar warga, menciptakan semangat gotong royong yang menjadi nilai penting dalam budaya Minangkabau.

Pembuatan rakit rakik sendiri melibatkan kreativitas tinggi, karena setiap rakit dihias dengan bahan-bahan alami dan diberi berbagai ornamen yang mencerminkan kearifan lokal. Ini menjadi momen bagi masyarakat untuk saling berbagi dan bekerjasama dalam mempersiapkan perayaan Idul Fitri yang meriah. Dengan melibatkan generasi muda, tradisi ini juga menjadi sarana untuk melestarikan budaya dan kearifan lokal bagi masa depan.

Dengan keindahan dan makna yang mendalam, tradisi rakik rakik menjadi salah satu daya tarik budaya yang mempesona bagi wisatawan, sekaligus menggambarkan kekayaan budaya Indonesia yang kaya akan nilai-nilai luhur.

Pasa Ibuah

Pasa Ibuah

Pasa Ibuah adalah salah satu pasar tradisional yang memiliki daya tarik tersendiri. Pasar ini tidak hanya menjadi pusat kegiatan ekonomi masyarakat, tetapi juga merupakan cerminan budaya lokal yang kental. Pasa Ibuah sudah ada sejak lama dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Payakumbuh. Terletak di kawasan strategis, pasar ini mudah diakses oleh penduduk setempat maupun wisatawan yang ingin merasakan suasana pasar tradisional Minangkabau.

Pasa Ibuah memiliki keunikan seperti: Produk Lokal yang Beragam, Interaksi Sosial, dan  Arsitektur Tradisional, Pasa Ibuah dikenal dengan hasil bumi yang segar, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan rempah-rempah. Tak hanya itu, Anda juga dapat menemukan makanan khas Minangkabau seperti lamang, kue-kue tradisional, dan bumbu racikan asli daerah ini.

Salah satu hal yang membuat Pasa Ibuah istimewa adalah suasana kekeluargaan dan keramahan para pedagang. Dan juga ada beberapa bagian pasar ini masih mempertahankan nuansa tradisional dengan elemen bangunan khas Minangkabau, seperti atap gonjong.

Pasa Ibuah bukan hanya tempat berbelanja, tetapi juga ruang untuk menyelami budaya Minangkabau yang kaya. Pasar ini menjadi simbol kehidupan masyarakat yang penuh warna dan keberagaman. Jadi, jika Anda berkunjung ke Payakumbuh, sempatkan waktu untuk menjelajahi pesona Pasa Ibuah. Pasa ibuah terletak di Kota Payakumbuh, Sumatera Barat.

Negeri Seribu Menhir

Negeri Seribu Menhir

Negeri Seribu Menhir adalah batu tegak yang didirikan oleh manusia pada zaman prasejarah sebagai simbol penghormatan kepada leluhur, penanda wilayah, atau elemen upacara keagamaan. Di Negeri Seribu Menhir, batu-batu ini ditemukan dalam berbagai ukuran dan posisi, mulai dari yang berdiri tegak hingga yang terbaring. Keberadaan menhir-menhir ini mengindikasikan bahwa wilayah ini pernah menjadi pusat aktivitas sosial dan spiritual masyarakat kuno. 

Wisatawan yang berkunjung ke Negari Seribu Menhir akan disuguhi panorama alam yang asri serta pemandangan menhir yang memancing rasa ingin tahu. Pemandangan Alam yang Menakjubkan. Terletak di dataran tinggi, lokasi ini menawarkan udara sejuk dan lanskap indah yang dikelilingi perbukitan. Hal ini menjadikan Negeri Seribu Menhir sebagai destinasi yang cocok bagi wisatawan yang ingin menikmati wisata sejarah sekaligus alam.

Bagi pecinta sejarah dan arkeologi, tempat ini memberikan kesempatan untuk mempelajari lebih dalam tentang kebudayaan prasejarah. Pemandu lokal biasanya akan menceritakan latar belakang situs ini, termasuk bagaimana menhir digunakan oleh masyarakat pada masa lalu.

Untuk mencapai Negari Seribu Menhir, wisatawan dapat menggunakan kendaraan roda dua atau empat. Dari pusat kota Payakumbuh, perjalanan ke lokasi membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit. Meski fasilitas di lokasi masih sederhana, suasana yang tenang dan alami menambah daya tarik tempat ini.

Negeri Seribu Menhir tidak hanya berfungsi sebagai destinasi wisata, tetapi juga sebagai situs yang harus dilestarikan. Upaya pelestarian dari pemerintah daerah dan masyarakat setempat sangat penting untuk menjaga keutuhan situs ini sebagai warisan budaya bangsa.

Negeri Seribu Menhir, sebuah destinasi wisata sejarah menjadi saksi bisu peradaban megalitikum yang pernah berkembang di tanah Minangkabau. Tempat ini menyimpan kekayaan arkeologi berupa ratusan batu menhir yang tersebar di area perbukitan di nagari ini .

Nagari Seribu Menhir berlokasi di Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat.

Tari Payung

Tari Payung

Tari Payung adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari Bukittinggi, Sumatera Barat, yang menggambarkan keindahan dan keanggunan budaya Minangkabau. Tarian ini menggunakan payung sebagai alat utama, yang menjadikannya sangat unik dan menarik. Dikenal karena gerakan-gerakan lembut dan harmoni yang tercipta antara penari dan payung, Tari Payung sering kali dipertunjukkan dalam berbagai acara adat, perayaan budaya, dan festival.

Tari Payung biasanya dibawakan oleh para penari wanita yang mengenakan pakaian adat Minangkabau yang berwarna cerah, dengan aksesoris khas yang melambangkan kemewahan dan keindahan. Payung yang digunakan dalam tarian ini memiliki makna simbolis, yang melambangkan keharmonisan, kebersamaan, dan perlindungan dalam masyarakat Minangkabau. Setiap gerakan yang dilakukan dengan payung ini mengandung makna yang mendalam tentang hubungan manusia dengan alam serta sesama dalam kehidupan sehari-hari.

Gerakan-gerakan dalam Tari Payung memperlihatkan kelembutan dan keanggunan para penari yang seolah-olah menari dengan penuh keserasian bersama payung yang mereka bawa. Tarian ini mencerminkan kebersamaan, gotong-royong, dan rasa syukur yang menjadi nilai-nilai utama dalam budaya Minangkabau. Setiap gerakan yang dilakukan oleh penari juga menggambarkan keindahan alam serta kehalusan karakter masyarakat Minangkabau.

Selain tampil di acara adat atau pernikahan, Tari Payung juga sering dipertunjukkan di berbagai festival kebudayaan, baik di Bukittinggi maupun di luar daerah, sebagai upaya untuk melestarikan warisan budaya Minangkabau. Tarian ini juga menjadi simbol kebanggaan masyarakat Minangkabau akan keindahan seni dan tradisi mereka.

Keindahan Tari Payung tidak hanya terlihat dari gerakan dan kostum para penari, tetapi juga dari pesan moral yang terkandung di dalamnya. Tarian ini mengajarkan pentingnya nilai-nilai kekeluargaan, kerjasama, serta rasa syukur terhadap alam dan sesama. Tari Payung tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Minangkabau, yang terus dilestarikan oleh masyarakat Bukittinggi dan sekitarnya.

Tradisi Barayo Masyarakat Kurai

Tradisi Barayo Masyarakat Kurai

Masyarakat Kurai, yang merupakan penduduk asli Bukittinggi, Sumatera Barat, memiliki tradisi khas yang dikenal sebagai Barayo. Tradisi ini berlangsung setiap Hari Raya Idul Fitri, di mana kaum perempuan mengunjungi rumah keluarga atau kerabat sambil membawa beras sebagai simbol penghormatan dan silaturahmi.

Barayo sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sejak lama. Beras yang dibawa kaum perempuan biasanya dijunjung diatas kepala, sementara para laki-laki bertugas menemani mereka ke rumah tujuan, yang umumnya masih berada di sekitar kampung halaman.

Barayo bukan sekadar tradisi bertamu, tetapi juga wujud kepedulian sosial dan cara menjaga hubungan kekeluargaan agar tetap erat. Beras yang dibawa melambangkan kebersamaan, sekaligus rasa syukur untuk berbagi rezeki di momen kemenangan setelah menjalankan ibadah puasa.

Tradisi Barayo biasanya dilakukan sejak hari pertama lebaran hingga sepekan setelahnya. Bagi Masyarakat Kurai. tradisi ini tetap menjadi salah satu cara untuk menjaga nilai-nilai budaya yang diwariskan oleh leluhur mereka.

Barayo adalah bukti bagaimana masyarakat Kurai tetap menghormati hubungan kekeluargaan dan gotong royong di tengah gempuran modernisasi. Tradisi ini tidak hanya menjadi momen berkumpul bersama, tetapi juga mengingatkan pada pentingnya menjaga akar budaya sebagai identitas yang berharga.