Opa Mentawai

Opa Mentawai

Opa Mentawai adalah salah satu kerajinan tradisional khas Suku Mentawai yang mencerminkan keunikan budaya dan kreativitas masyarakat setempat. Kerajinan ini biasanya terbuat dari bahan-bahan alami yang mudah ditemukan di lingkungan pulau, seperti kayu, rotan, atau daun sagu, dan dikerjakan secara manual oleh pengrajin lokal. Opa Mentawai tidak hanya berfungsi sebagai benda hias, tetapi juga sebagai simbol identitas budaya yang kaya akan nilai estetika dan filosofi lokal.

Proses pembuatan Opa Mentawai biasanya memerlukan ketelitian dan keterampilan tangan yang tinggi. Setiap detail pada kerajinan ini memiliki makna tertentu, seringkali mencerminkan hubungan manusia dengan alam, kepercayaan leluhur, atau kehidupan sosial masyarakat Mentawai. Pengrajin biasanya menurunkan teknik pembuatan ini secara turun-temurun, sehingga setiap produk Opa Mentawai memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri yang sulit ditemukan di tempat lain.

Selain menjadi bagian dari tradisi lokal, Opa Mentawai kini juga banyak dijadikan oleh-oleh atau souvenir bagi wisatawan yang mengunjungi Kepulauan Mentawai. Kerajinan ini tidak hanya menawarkan keindahan visual, tetapi juga menceritakan cerita budaya dan kearifan lokal kepada siapa saja yang memilikinya. Dengan demikian, Opa Mentawai menjadi media penting untuk melestarikan tradisi dan memperkenalkan kekayaan budaya Mentawai ke dunia luar.

Tarian Turuk Laggai

Tarian Turuk Laggai

Tarian Turuk Laggai merupakan salah satu tarian tradisional khas Suku Mentawai yang memegang peran penting dalam kehidupan budaya masyarakat setempat. Tarian ini biasanya dipentaskan dalam acara-acara adat, seperti penyambutan tamu penting, upacara adat, atau perayaan tertentu yang berhubungan dengan kehidupan komunitas Mentawai. Turuk Laggai bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga sarana untuk menyampaikan nilai-nilai sosial, sejarah, dan kearifan lokal kepada generasi muda.

Ciri khas Turuk Laggai terlihat dari gerakan penarinya yang lincah dan ritmis, disertai musik tradisional Mentawai yang khas. Para penari mengenakan pakaian adat lengkap dengan aksesoris tradisional, seperti manik-manik, bulu burung, dan hiasan kepala, yang menambah keindahan visual dan simbolisme tarian. Gerakan tangan dan kaki dalam tarian ini memiliki makna tertentu, sering kali menceritakan kisah kehidupan masyarakat, hubungan manusia dengan alam, atau pesan moral yang diwariskan secara turun-temurun.

Selain sebagai media pelestarian budaya, Turuk Laggai juga berfungsi sebagai bentuk komunikasi nonverbal dalam komunitas Mentawai. Tarian ini mempererat hubungan sosial antar anggota masyarakat, sekaligus menjadi identitas kultural yang membedakan Suku Mentawai dari suku lain di Sumatera Barat. Meski modernisasi dan pengaruh budaya luar telah mengubah beberapa aspek kehidupan sehari-hari, Turuk Laggai tetap dipertahankan sebagai simbol penting warisan budaya yang kaya dan autentik.

Bagi pengunjung atau wisatawan yang datang ke Mentawai, menyaksikan Turuk Laggai memberikan pengalaman unik dalam memahami budaya lokal. Tarian ini tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga memberikan wawasan tentang nilai-nilai adat, kreativitas, dan keharmonisan masyarakat Mentawai dengan lingkungan mereka. Dengan demikian, Turuk Laggai tetap menjadi bagian penting dari identitas budaya dan kebanggaan masyarakat Mentawai hingga saat ini.

Pangurei Pernikahan Suku Mentawai

Pangurei Pernikahan Suku Mentawai

Pangurei adalah pesta pernikahan adat Suku Mentawai yang menjadi keharusan dan penentu keabsahan perkawinan, di mana pasangan mengenakan pakaian adat dan acara ini melibatkan makan bersama serta pemberian persembahan berupa ayam, telur, dan babi. Meskipun mengalami perubahan akibat pengaruh agama, pangurei tetap menjadi bagian penting dari tradisi pernikahan Mentawai, seringkali disertai doa-doa sesuai agama yang dianut.

Aturan sebelum pesta acara Pangurei, mempelai perempuan dilarang mengunjungi orang tuanya, dan proses pembelian mas kawin dilakukan melalui perwakilan pihak perempuan dan laki-laki. Setelah acara, kedua mempelai dan masyarakat akan makan bersama. Persembahan berupa ayam, telur, dan babi turut diberikan dalam rangkaian ucapan.

Setelah prosesi inti Pangurei selesai, biasanya akan ada sesi hiburan dan pertunjukan budaya khas Mentawai. Tarian tradisional, musik dari alat musik lokal, serta ritual-ritual simbolis seringkali ditampilkan untuk menghibur para tamu dan memperkuat ikatan sosial dalam komunitas. Pihak keluarga dan tetangga turut berpartisipasi dalam memberikan ucapan selamat, yang sekaligus menjadi momen penting untuk mempererat hubungan antar keluarga besar.

Selain itu, Pangurei juga berfungsi sebagai sarana edukasi budaya bagi generasi muda. Anak-anak dan remaja diajak untuk menyaksikan langsung tata cara pernikahan adat, mengenal nilai-nilai yang terkandung, serta memahami pentingnya penghormatan terhadap adat istiadat. Dengan demikian, tradisi ini tidak hanya menjadi penanda pernikahan, tetapi juga media pelestarian budaya Mentawai yang kaya dan unik.

Meskipun beberapa aspek tradisi telah beradaptasi dengan pengaruh modern dan agama, inti dari Pangurei tetap sama: memperkuat ikatan keluarga, menjaga keharmonisan sosial, serta menghormati leluhur melalui ritual-ritual adat yang sakral. Hingga kini, Pangurei tetap menjadi salah satu simbol kuat identitas budaya Suku Mentawai, yang memadukan nilai-nilai tradisi dan modernitas secara harmonis

Tradisi Meruncingkan Gigi Suku Mentawai

Tradisi Meruncingkan Gigi Suku Mentawai

Tradisi meruncingkan gigi atau yang dikenal dengan sebutan Sipatiti merupakan salah satu warisan budaya unik dari masyarakat Mentawai di Sumatera Barat. Prosesnya dilakukan dengan cara mengikir gigi bagian depan hingga berbentuk runcing menggunakan alat sederhana seperti batu asah atau besi. Meski terdengar menyakitkan, tradisi ini telah dilakukan secara turun-temurun dan menjadi bagian penting dari identitas suku Mentawai.

Bagi masyarakat Mentawai, gigi yang runcing memiliki makna mendalam. Bagi perempuan, gigi runcing dianggap mempercantik penampilan dan melambangkan kedewasaan. Proses ini biasanya dilakukan ketika seseorang menginjak usia remaja atau menjelang dewasa, sehingga menjadi penanda peralihan menuju fase kehidupan yang baru. Selain itu, tradisi ini dipercaya memiliki nilai spiritual, yakni untuk menjaga keseimbangan jiwa dan menjauhkan diri dari pengaruh roh jahat.

Kini, tradisi meruncingkan gigi semakin jarang dilakukan, terutama di daerah Mentawai yang lebih modern. Namun, di beberapa wilayah pedalaman, tradisi ini masih dapat ditemukan dan menjadi daya tarik budaya yang unik bagi wisatawan yang berkunjung. Melihat langsung proses Sipatiti memberikan pengalaman yang mendalam tentang cara masyarakat Mentawai menjaga identitas dan warisan budaya mereka di tengah arus modernisasi.

Talempong Batuang Silungkang

Talempong Batuang Silungkang

Talempong Batuang Silungkang adalah salah satu warisan budaya khas Minangkabau yang berasal dari Dusun Sungai Cocang, Desa Silungkang Oso, Kota Sawahlunto. Tidak seperti talempong pada umumnya yang terbuat dari logam, talempong ini dibuat dari bahan bambu (dalam bahasa Minang disebut batuang). Inovasi ini menunjukkan kekayaan budaya masyarakat Silungkang dalam menciptakan alat musik tradisional yang unik, ramah lingkungan, dan tetap bernilai seni tinggi.

Bentuk Talempong Batuang menyerupai batang bambu berukuran sekitar 60 sentimeter dengan sayatan-sayatan pada permukaannya yang berfungsi sebagai sumber nada. Cara memainkannya adalah dengan memukul bagian tersebut menggunakan potongan bambu kecil seperti stik, menghasilkan nada-nada lembut dan alami. Alat musik ini dulunya digunakan dalam kegiatan sehari-hari seperti menemani petani saat beristirahat, perayaan panen, atau sekadar hiburan di tengah masyarakat pedesaan.

Kesenian Talempong Batuang diwariskan secara turun-temurun dan kini hanya dikuasai oleh satu keluarga, yakni keluarga besar Umar Malin Parmato. Mereka adalah penjaga terakhir tradisi ini, sekaligus pelaku seni yang masih aktif memperkenalkannya ke berbagai panggung budaya, baik lokal maupun internasional. Keunikan dan langkanya Talempong Batuang ini membuatnya diakui secara resmi sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 31 Agustus 2023.

Upaya pelestarian Talempong Batuang terus dilakukan melalui festival budaya, workshop pembuatan dan pelatihan, hingga pengenalan ke sekolah-sekolah agar generasi muda mengenal dan mencintai budaya lokal. Talempong Batuang tidak hanya sekadar alat musik, tapi juga simbol ketekunan, kreativitas, dan identitas masyarakat Silungkang yang patut dihargai dan dijaga bersama.

Makan Bajamba Sawahlunto

Makan Bajamba Sawahlunto

Tradisi Makan Bajamba atau makan besar bersama sama yang digelar setiap 1 Desember. Tradisi ini untuk meningkatkan keharmonisan  pada setiap kehidupan masyarakat. Kegiatan ini diikuti seluruh masyarakat dan berlangsung di Lapangan Segitiga, Kota Sawahlunto.  

Saat semua sudah berkumpul, para perempuan terlihat membawa jamba atau nampan berisi berbagai jenis makanan yang dijunjung di atas kepala masing – masing. Jamba itu diletakan diatas tikar atau karpet yang di gelar di bawah tenda yang didirikan menutupi hampir semua sisi taman. Setelah itu, ada yang langsung menghidangkan makanan – makanan itu dengan piring di atas karpet, tetapi juga ada yang tetap membiarkan di atas jamba.

Makanan  yang dibawa sesuai dengan makanan tradisional dari etnis masing masing. Etnis warga Minangkabau misalnya, terlihat makanan tradisional seperti rendang, gulau dan lainnya. Sementara warga dari etnis jawa menyiapkan tumpengan, jajanan pasar, ingkung ( ayam yang diolah dengan santan dan bumbu khas ) dan semur tahu. Adapun warga etnis sunda menyiapkan hidangan nasi timbel, sambel, terasi, dan lalapan, pais tahu, gemblong, tempe, tahu bacem dan rujak 

Para perempuan tersebut kemudian duduk berlesehan melingkari makanan itu. Agar tetap teratur, panitia menandai masing masing petak tenda sesuai asal mereka karena acara itu tidak hanya di hadirkan sepuluh nagari dari empat kecamatan, tetapi juga seluruh etnis yang ada,  Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ), sekolah, lembaga dan beberapa perusahaan swasta di Kota Sawahlunto.

Makan Bajamba didahului dengan pengantar para ninik mamak dan penghulu suku, serta walikota Sawahlunto. Gubernur dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI juga hadir dan ikut memberikan sambutan. Makan Bajamba juga dihadiri masyarakat Kota Sawahlunto, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,  Ketua DPRD Kota Sawahlunto dan Wisatawan dari Mancanegara.   Kebersamaan itu yang harus terus dipertahankan dalam semua aspek kehidupan masyarakat Kota Sawahlunto, termasuk acara Makan Bajamba yang sejatinya tradisi masyarakat Minangkabau. 

 

4D3N Pacu Jawi

4D3N Pacu Jawi

4d3n Pacu Jawi & Eksplorasi Sumatera Barat
Harga: Rp 2.369.000/pax
Minimal Peserta: 10 orang

Nikmati pengalaman tak terlupakan menjelajahi keindahan budaya dan alam Sumatera Barat, termasuk atraksi unik Pacu Jawi – tradisi balapan sapi khas Tanah Datar yang hanya ada di Minangkabau!

Hari 01, Bandara Internasional Minangkabau – Batusangkar (L, D)

Penjemputan di Bandara Internasional Minangkabau (BIM)

Perjalanan menuju Batusangkar melalui jalur legendaris Air Terjun Lembah Anai

Singgah sejenak di Air Terjun Lembah Anai, dipercaya memberi kesegaran dan efek awet muda

Kunjungan ke Minangkabau Village (Pusat Dokumentasi dan Informasi Budaya Minangkabau)

Makan siang di restoran lokal (opsi: Pondok Baselo Baramas / Sate Mak Syukur)

Menjelajahi Desa Pariangan – dinobatkan sebagai salah satu desa terindah di dunia

Mengunjungi Istana Pagaruyung, replika istana kerajaan Minangkabau masa lampau

City tour Batusangkar: Batu Batikam, Batu Basurek, dan Batu Angkek-Angkek
Makan malam dengan suasana sawah di Sawah Laman Resto

Check-in hotel dan istirahat.

Hari 02: Batusangkar – Pacu Jawi – Lembah Harau – Bukittinggi (B, L, D)

Sarapan pagi dan check out hotel

Menuju lokasi Pacu Jawi untuk menyaksikan balapan sapi tradisional khas Minangkabau

Makan siang (disediakan lunch box)

Perjalanan dilanjutkan ke Lembah Harau dan Kelok 9 – destinasi alam favorit dengan panorama tebing dan lembah memukau

Berbelanja oleh-oleh khas seperti kerupuk Sanjai di Pusat Oleh-oleh Ummi Aufa Hakim

Makan malam di restoran pilihan (Sederhana Restaurant / CK Center Cafe / Lapau Kapau/ RM Pondok Baselo )

Check-in hotel di Bukittinggi

Hari 03: Bukittinggi – Danau Maninjau – Padang (B, L, D)

Sarapan pagi dan check out hotel

City tour Bukittinggi: mengunjungi Panorama Baru, Rumah Kelahiran Bung Hatta, Jam Gadang, dan Pasar Atas

Singgah ke Koto Gadang, sentra kerajinan perak khas Sumatera Barat

Makan siang di Eni Resto

Kunjungan ke Kenagarian Lawang untuk melihat proses tradisional pembuatan gula tebu

Menikmati panorama Danau Maninjau dari Lawang Park

Melanjutkan perjalanan ke Padang

Makan malam di restoran lokal (Lamun Ombak / Ikan Bakar Khatib / Sederhana)

Check-in hotel dan istirahat

Hari 04: Padang – City Tour – Bandara (B, L)

Sarapan pagi dan check out hotel

City tour Padang: mengunjungi Masjid Raya Sumatera Barat, Kota Tua Padang, Kampung Cina, Jembatan Siti Nurbaya, dan Pantai Padang

Makan siang di restoran lokal

Pengantaran ke Bandara Internasional Minangkabau

Tour berakhir – sampai jumpa di perjalanan berikutnya!

Harga Sudah Termasuk :

Harga Tidak Termasuk :

  • Transportasi AC selama tour
  • Hotel/ Akomodasi
  • Makan sesuai jadwal perjalanan (B: Sarapan, L: Makan Siang, D: Makan Malam)
  • Tiket masuk ke objek wisata
  • Driver dan tour guide profesional
  • Air mineral harian dan parkir
  • Tips untuk sopir/pemandu wisata
  • Biaya tambahan (di luar program)
  • Minuman tambahan (juice, soft drink, dll.)
  • Tiket pesawat, airport tax, porter bandara
  • Biaya tambahan selama periode libur Lebaran, Natal, dan Tahun Baru

Catatan:
Paket ini cocok untuk wisata budaya, wisata keluarga, hingga komunitas yang ingin merasakan langsung keunikan budaya Minangkabau melalui Pacu Jawi dan keindahan alam Sumatera Barat.

Salawat Dulang

Salawat Dulang

Salawat Dulang adalah tradisi lisan khas Minangkabau yang menggabungkan seni sastra Islam dengan iringan musik tradisional. Dalam pertunjukan ini, dua orang penyanyi duduk berdampingan sambil menabuh dulang sejenis nampan besar dari logam dengan tangan kanan mereka, sambil menyanyikan syair-syair berisi pujian kepada Nabi Muhammad SAW atau cerita-cerita moral. Tradisi ini diyakini berasal dari Tanah Datar, Sumatera Barat, dan mulai berkembang sebagai sarana dakwah yang dipopulerkan oleh kelompok tarekat Syattariyah. Syekh Burhanuddin, salah satu tokoh tarekat tersebut, mengadaptasi seni rebana dari Aceh dan menggunakannya bersama dulang sebagai alat musik pengiring dalam tradisi ini.

Salawat Dulang tidak hanya berfungsi sebagai media dakwah, tetapi juga sebagai hiburan dan sarana penggalangan dana dalam berbagai acara keagamaan. Dalam setiap pertunjukan, dua penyanyi saling berbalas syair dalam bentuk tanya jawab, kadang diselingi dengan humor dan sindiran halus, menjadikannya sebuah hiburan yang menggetarkan. Syair yang dibawakan dapat berlangsung antara 25 hingga 40 menit, dengan improvisasi sesuai dengan tema atau irama yang sedang populer di masyarakat. Pertunjukan ini biasanya diselenggarakan pada hari-hari besar Islam seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, dan Idul Adha, atau dalam acara keagamaan seperti khatam Al-Qur’an dan peresmian rumah baru.

Sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, Shalawat Dulang sering dipertunjukkan di surau, masjid, atau rumah penduduk yang dihormati. Selain sebagai hiburan, tradisi ini juga berfungsi sebagai sarana pendidikan moral dan spiritual. Meskipun demikian, tantangan modernisasi dan globalisasi membuat tradisi ini semakin terpinggirkan, sehingga diperlukan upaya pelestarian. Pemerintah daerah dan komunitas budaya setempat telah berusaha mengenalkan kembali tradisi ini kepada generasi muda melalui berbagai festival budaya dan pelatihan seni. Harapannya, Shalawat Dulang dapat terus hidup dan berkembang sebagai bagian penting dari warisan budaya Minangkabau yang kaya dan berharga.

Songket Pandai Sikek

Songket Pandai Sikek

Songket Pandai Sikek adalah salah satu warisan budaya Minangkabau yang dikenal luas karena kualitasnya yang tinggi, motifnya yang khas, serta proses pembuatannya yang masih mempertahankan cara tradisional secara turun-temurun. Dalam masyarakat Minangkabau, songket tidak hanya digunakan sebagai busana adat dalam upacara pernikahan, alek nagari, atau acara adat lainnya, tetapi juga menjadi simbol status sosial dan kebanggaan budaya. Keunikan dari Songket Pandai Sikek terletak pada motifnya yang rumit dan sarat makna filosofis, seperti motif pucuak rabuang, bungo cangkih, hingga kaluak paku yang menggambarkan nilai-nilai kehidupan, kekeluargaan, dan ajaran adat Minangkabau.

Proses pembuatan songket di Pandai Sikek membutuhkan ketelatenan tinggi dan waktu yang tidak sebentar. Bahan dasar kain terbuat dari benang kapas atau sutra yang ditenun dengan benang emas atau perak secara manual menggunakan alat tenun tradisional. Penenun, yang sebagian besar adalah perempuan, mempelajari keahlian ini sejak usia muda dan mewariskannya secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Tak heran jika songket yang dihasilkan memiliki nilai artistik tinggi serta kualitas yang tahan lama. Songket Pandai Sikek juga telah menjadi salah satu produk unggulan dari Sumatera Barat yang kerap tampil dalam peragaan busana nasional maupun internasional.

Selain bernilai seni, Songket Pandai Sikek juga memiliki nilai ekonomi yang penting bagi masyarakat setempat. Industri rumahan tenun songket di nagari ini mampu meningkatkan kesejahteraan warga dan mendukung pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya. Pemerintah daerah pun turut mendorong pelestarian dan promosi songket melalui pelatihan, festival budaya, hingga sertifikasi produk. Para wisatawan yang berkunjung ke Pandai Sikek dapat melihat langsung proses menenun, membeli kain songket sebagai oleh-oleh, bahkan mencoba belajar menenun bersama penduduk setempat.

Sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia, Songket Pandai Sikek bukan hanya hasil kerajinan tangan, tetapi juga perwujudan dari kearifan lokal dan jati diri masyarakat Minangkabau. Di tengah modernisasi dan tantangan zaman, keberadaan songket ini tetap bertahan dan terus berkembang sebagai bentuk kecintaan terhadap tradisi dan identitas budaya yang patut dibanggakan.

Songket Pandai Sikek berasal dari Nagari Pandai Sikek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar

Tari Lukah Gilo

Tari Lukah Gilo

​Tari Lukah Gilo merupakan salah satu tarian tradisional khas Minangkabau yang berasal dari Sumatera Barat. Tarian ini dikenal karena keunikannya yang menggabungkan unsur seni, budaya, dan spiritualitas. Dalam pertunjukannya, penari tampak seperti kehilangan kesadaran dan bergerak dengan gerakan yang tidak biasa, seolah-olah dirasuki oleh kekuatan gaib.​

Nama “Lukah Gilo” berasal dari kata “lukah” yang berarti perangkap ikan tradisional yang terbuat dari bambu, dan “gilo” yang berarti gila atau tidak terkendali. Dalam tarian ini, lukah digunakan sebagai properti utama yang seolah-olah memiliki kekuatan magis, membuat penari bergerak secara liar dan tak terkendali. Penari biasanya memegang atau membawa lukah sambil menari, menciptakan suasana mistis yang memukau penonton.​

Tari Lukah Gilo sering ditampilkan dalam acara-acara adat, festival budaya, dan pertunjukan seni di Sumatera Barat. Tarian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga memiliki nilai-nilai spiritual dan simbolis yang mendalam bagi masyarakat Minangkabau. Melalui gerakan-gerakan yang dinamis dan penuh semangat, Tari Lukah Gilo mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.